## Gejolak Nasional di Indonesia: Protes, Kekerasan, dan Dampaknya pada Ekonomi dan Politik (25 Agustus – 2 September 2025)
Indonesia dilanda gelombang protes besar-besaran pada akhir Agustus 2025, menandai eskalasi ketidakpuasan publik yang telah membara sejak awal tahun 2025. Ketidakpuasan ini dipicu oleh serangkaian masalah ekonomi, termasuk kenaikan biaya hidup, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) akibat pemotongan dana pusat oleh pemerintah, dan yang paling memicu kemarahan: usulan kenaikan tunjangan perumahan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
**Usulan Tunjangan yang Memicu Amarah**
Usulan tunjangan perumahan bulanan sebesar Rp 50 juta (sekitar US$ 3.057) untuk anggota DPR – sepuluh kali lipat upah minimum di Jakarta (yang sudah termasuk tertinggi di Indonesia) – menjadi pemantik utama protes. Angka ini, jika ditambahkan dengan tunjangan makan dan transportasi, membuat total penghasilan resmi anggota DPR mencapai lebih dari Rp 100 juta (US$ 6.062) per bulan, menurut perhitungan BBC Indonesia. Namun, angka ini dibantah dan bahkan diklaim jauh lebih tinggi lagi oleh berbagai pihak, termasuk oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang menyebutkan angka hingga Rp 230 juta (US$ 13.942,60) per bulan atau sekitar Rp 2,8 miliar (US$ 169.736) per tahun per anggota. Pernyataan Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Menteri Hukum dan HAM, yang menyebut penghasilan anggota DPR bisa mencapai miliaran rupiah per bulan semakin memperkeruh suasana.
Ketidakpedulian sejumlah anggota DPR terhadap situasi rakyat semakin menambah bara kemarahan. Pernyataan kontroversial dari beberapa anggota DPR, seperti dukungan Nafa Urbach terhadap kenaikan tunjangan dengan alasan kesulitan mobilitas, serta pernyataan Ahmad Sahroni yang menyebut penentang DPR sebagai “orang-orang paling bodoh di dunia,” memicu gelombang kecaman di media sosial. Eko Patrio pun turut menambah minyak dengan mengunggah video parodi yang dianggap mengejek keresahan rakyat. Nafa Urbach kemudian meminta maaf dan berjanji akan menyumbangkan tunjangannya, namun kerusakan citra sudah terlanjur terjadi.
**Eskalasi Protes dan Kekerasan**
Protes yang dimulai pada 25 Agustus 2025 di Jakarta dengan cepat meluas ke berbagai kota di Indonesia. Awalnya, tuntutan para demonstran terfokus pada pencabutan skema subsidi DPR, penjatuhan sanksi bagi anggota DPR yang mengeluarkan pernyataan tidak sensitif, dan pengesahan Undang-Undang Penyitaan Aset bagi anggota parlemen yang terbukti korupsi.
Puncak ketegangan terjadi pada 28 Agustus 2025 di Jakarta. Bentrokan antara demonstran, yang didominasi oleh mahasiswa, aktivis politik, dan buruh, dengan aparat kepolisian terjadi di depan gedung DPR. Aparat menggunakan gas air mata dan water canon untuk membubarkan massa, yang kemudian berujung pada kerusuhan di sejumlah titik di Jakarta. Penangkapan seorang mahasiswa di depan mal Senayan City yang kemudian diselamatkan pengunjung dan satpam mal pun menjadi viral dan memperkeruh suasana.
Namun, tragedi yang benar-benar memicu amuk massa adalah tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang terlindas kendaraan taktis Brimob pada malam 28 Agustus. Kejadian ini terekam dalam berbagai video dan tersebar luas di media sosial, memicu kemarahan dan gelombang protes baru yang lebih dahsyat. Kematian Affan, yang menurut laporan media bukanlah peserta demonstrasi, dianggap sebagai simbol brutalitas polisi. Selain Affan, terdapat pula korban lain bernama Moh Umar Amarudin yang juga seorang pengemudi ojek online yang mengalami luka parah. Pemakaman Affan yang dihadiri oleh berbagai tokoh, termasuk Anies Baswedan dan Kapolda Metro Jaya, diwarnai insiden bentrokan antara pengemudi ojek online dengan polisi.
**Kerusuhan Meluas dan Kerugian Besar**
Setelah kematian Affan, protes meluas dan disertai dengan tindakan anarkis di berbagai kota, termasuk Makassar, Surabaya, Bandung, dan Medan. Gedung-gedung pemerintahan, termasuk kantor DPRD di sejumlah daerah, dibakar dan dirusak. Rumah-rumah milik anggota DPR juga menjadi sasaran penjarahan. Kerusuhan ini juga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka, baik dari kalangan demonstran maupun aparat. Lokataru Foundation memperkirakan sedikitnya 600 mahasiswa ditangkap dalam berbagai aksi protes di seluruh Indonesia.
Pada 30 Agustus, kematian Andika Lutfi Hasan, mahasiswa yang terluka parah saat demonstrasi di Tangerang, menambah daftar korban. Rumah-rumah sejumlah anggota DPR yang dianggap kontroversial, seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach, menjadi sasaran penjarahan oleh massa. Kerusuhan ini juga berdampak signifikan pada perekonomian, dengan penurunan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kerusakan infrastruktur publik diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Layanan Transjakarta dan MRT Jakarta terhenti sementara akibat kerusakan fasilitas.
**Tanggapan Pemerintah dan Aksi Lanjutan**
Pemerintah merespon situasi dengan berbagai langkah, termasuk penangkapan sejumlah anggota Brimob yang terlibat dalam kematian Affan Kurniawan, janji penyelidikan yang transparan, dan pernyataan belasungkawa dari Presiden Prabowo Subianto dan pejabat lainnya. Namun, pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut adanya unsur makar dan terorisme tanpa bukti konkret justru menuai kecaman. Pembentukan tim tugas untuk mengatasi PHK massal dan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh juga diumumkan.
Berbagai tokoh politik dan organisasi masyarakat turut angkat bicara, mendesak pemerintah untuk merespon tuntutan rakyat dan melakukan reformasi kepolisian. Mahasiswa dan berbagai organisasi melakukan demonstrasi susulan, menuntut pertanggungjawaban atas kematian Affan dan reformasi kepolisian. Upaya negosiasi antara pemerintah dan perwakilan demonstran dilakukan, termasuk pembatalan kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR dan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri. Beberapa anggota DPR yang kontroversial juga mendapatkan sanksi partai.
**Kesimpulan**
Gejolak nasional di Indonesia pada akhir Agustus 2025 merupakan peristiwa yang kompleks dan berdampak luas. Meskipun protes bermula dari usulan kenaikan tunjangan anggota DPR, ketidakpuasan publik yang mendalam terhadap masalah ekonomi dan praktik politik yang dianggap tidak responsif menjadi akar permasalahan. Kejadian ini menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk lebih peka terhadap aspirasi rakyat dan melakukan reformasi yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi dan politik. Kejadian ini juga menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan proporsional serta perlindungan terhadap hak-hak sipil dalam menghadapi demonstrasi. Investigasi menyeluruh dan transparan sangat diperlukan untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Peristiwa ini juga menggarisbawahi perlunya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan rakyat untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan demokratis.
**(Kata kunci: Protes Indonesia 2025, Kerusuhan Indonesia, Demo Mahasiswa Indonesia, Reformasi Kepolisian, Kenaikan Tunjangan DPR, Dampak Ekonomi Protes, Brutalitas Polisi, Affan Kurniawan)**