## Bongkar Pasang Pemain Impor Migas: Kejatuhan Kerajaan Riza Chalid dan Misteri di Baliknya
Langkah tegas Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap kasus korupsi di tubuh Pertamina telah mengguncang sendi-sendi kerajaan bisnis impor minyak yang selama ini dikendalikan oleh Riza Chalid. Penangkapan dan penetapan anak kandung Riza, Kerry Chalid, sebagai tersangka menjadi tamparan keras yang menggema di jagat industri migas nasional. Kejadian ini memicu pertanyaan besar: apakah ini benar-benar penanda berakhirnya dominasi Riza Chalid, atau hanya sekadar pergantian pemain dalam permainan besar yang lebih kompleks?
Riza Chalid, selama ini dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh dan memiliki jaringan luas hingga ke puncak kekuasaan. Keangkuhannya tampak terpancar, bahkan berani mengabaikan peringatan yang dilontarkan oleh Prabowo Subianto. Prabowo, yang menerapkan pendekatan “politik wortel dan cambuk”, menjatuhkan “cabuk”-nya setelah upaya persuasi gagal membuahkan hasil. Dalam sambutan pada Pembukaan Kongres XVIII Muslimat NU di Jatim Expo, Surabaya, Senin, 10 Februari 2025, Prabowo secara terang-terangan menyebut Kerry Chalid sebagai “Raja Kecil”, menyoroti sifat keras kepala dan rasa kebal hukumnya yang diduga dilindungi oleh kekuasaan ayahnya. Prabowo pun langsung meminta Jaksa Agung, Kapolri, dan pimpinan KPK untuk bertindak tegas. Ia bahkan memberi kesempatan kepada Kerry untuk mengembalikan uang hasil korupsi dalam waktu singkat. Namun, peringatan tersebut diabaikan. Sebagai respons, Kejagung bergerak cepat dan Kerry pun diringkus.
Namun, di balik peristiwa ini tersimpan misteri yang lebih dalam. Apakah upaya penegakan hukum ini murni bertujuan membersihkan praktik mafia impor migas, ataukah hanya sebuah strategi untuk mengganti satu pemain dengan pemain lainnya? Dugaan ini semakin menguat mengingat sosok Hasym, saudara kandung Prabowo, yang telah memberikan dukungan besar secara finansial untuk kampanye kepresidenan Prabowo. Muncul spekulasi bahwa Hasym mengincar lahan bisnis impor migas yang menggiurkan, mendorong Prabowo untuk menyingkirkan Riza Chalid dan membuka jalan bagi pihak lain, termasuk dirinya.
Riza Chalid memang bukan pemain baru. Ia dikenal sebagai satu-satunya broker minyak impor yang selama ini nyaris kebal hukum. Berbagai kasus korupsi sebelumnya yang melibatkannya selalu kandas di tengah jalan, berkat kekayaan dan jaringan kuatnya yang mencakup pejabat pemerintahan, internal Pertamina, hingga pemasok asing. Audit investigasi Petral tahun 2015 misalnya, mengungkap praktik manipulasi harga impor minyak yang merugikan negara hingga miliaran dolar. Riza Chalid diduga melakukan markup harga minyak impor dari USD 70 per barel menjadi USD 100 per barel. Ia diduga memanfaatkan akses informasi rahasia Pertamina Energy Service (PES), termasuk Harga Perkiraan Sendiri (HPS), yang bocor melalui email Trading88@ymail.com, untuk mengatur strategi dengan pemasok asing. Meskipun kasus ini sempat diselidiki oleh KPK dan Bareskrim Polri, ia tetap lolos dari jerat hukum.
Kedekatan Riza Chalid dengan elit politik sejak era Orde Baru hingga saat ini merupakan kunci keberhasilannya menguasai bisnis impor migas. Ia membangun hubungan dengan Bambang Trihatmodjo, putra Soeharto, kemudian merapat ke kubu Cikeas dan berkolaborasi dengan Hatta Rajasa. Buku “Gurita Bisnis Cikeas” karya George Junus Aditjondro bahkan menyebutkan bahwa Riza Chalid diduga membayar “premi” kepada keluarga Cikeas. Ia juga terlibat dalam kasus “Papa Minta Saham” yang menyeret Setya Novanto, meskipun hanya Novanto yang diproses hukum. Perannya dalam pendanaan Pilpres 2014 juga terungkap dalam rekaman tersebut.
Langkah Prabowo untuk menjatuhkan Riza Chalid patut diapresiasi. Namun, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir mengenai “review total Pertamina dan sub-holdingnya” mengindikasikan adanya upaya pembersihan orang-orang Riza di internal Pertamina, termasuk Riva Siahaan, Direktur Pertamina Patra Niaga, yang diduga membantu Kerry dalam mendapatkan kontrak pengadaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: siapakah pemain baru yang akan menggantikan Riza Chalid? Akankah pembersihan ini benar-benar bersih, atau hanya pergeseran kekuasaan yang menguntungkan pihak tertentu?
Kesimpulannya, publik perlu bersikap kritis terhadap drama penegakan hukum ini. Mungkinkah ini hanya pertukaran kepentingan di antara para oligarki, dengan menggeser pemain lama dan memasukkan pemain baru, sementara pemburu rente tetap berjaya? Pertanyaan ini menjadi tugas bersama untuk terus mengawasi dan memastikan agar sumber daya alam negara tidak terus dijarah oleh segelintir pihak yang tamak. Rakyat harus tetap waspada dan menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah.