## Bencana Fukushima: Jepang Siap Buang Air Limbah Radioaktif ke Laut, Tantangan Panjang Dekontaminasi & Pemulihan
Bencana nuklir Fukushima Daiichi yang terjadi pada 11 Maret 2011, akibat gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 Skala Richter dan tsunami susulannya, masih meninggalkan jejak mendalam hingga hari ini. Gempa dan tsunami tersebut meluluhlantakkan sistem pendingin tiga reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, mengakibatkan peleburan inti reaktor dan pelepasan radiasi nuklir dalam skala besar. Tragedi ini menelan korban jiwa dan hilang sebanyak 18.500 orang, dan meninggalkan warisan permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi yang kompleks hingga saat ini.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Jepang saat ini adalah penanganan sekitar 1.000 tangki berisi air limbah radioaktif yang terkontaminasi. Air limbah ini merupakan akumulasi air yang terkontaminasi radiasi dari ruang bawah tanah reaktor yang bocor, bercampur dengan air hujan dan air tanah. Meskipun telah diolah menggunakan sistem Advanced Liquid Processing System (ALPS), sekitar 70% air yang diolah, yang disebut “air ALPS,” masih mengandung unsur radioaktif Cesium dan radionuklida lain di atas ambang batas aman untuk dibuang langsung ke lingkungan. Volume air terkontaminasi mencapai lebih dari 130 ton, dan tangki-tangki penampungannya telah memenuhi sebagian besar lahan PLTN Fukushima.
Operator PLTN, Tokyo Electric Power Company Holdings (TEPCO), berencana membuang air limbah yang telah diolah ini ke laut, dengan target penyelesaian prosesnya pada musim semi mendatang. Rencana ini memerlukan persetujuan otoritas terkait, termasuk Otoritas Regulasi Nuklir Jepang dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). IAEA sendiri akan mengirimkan misi ke Jepang untuk melakukan evaluasi dan menerbitkan laporan sebelum pembuangan air limbah dimulai, guna memastikan proses tersebut memenuhi standar keselamatan internasional.
TEPCO mengklaim bahwa radioaktivitas dalam air limbah tersebut telah dikurangi hingga tingkat yang aman, sesuai dengan batas legal yang berlaku. Meskipun Tritium, salah satu unsur radioaktif, tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, TEPCO menyatakan bahwa jumlah Tritium yang tersisa tidak berbahaya dalam jumlah kecil dan secara rutin dilepaskan oleh pembangkit nuklir lainnya di seluruh dunia.
Namun, rencana ini menuai protes keras dari nelayan lokal yang khawatir akan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka. Kerusakan reputasi hasil laut Fukushima dikhawatirkan akan berdampak signifikan pada pendapatan mereka. Selain itu, negara-negara tetangga seperti Cina dan Korea Selatan, serta negara-negara Kepulauan Pasifik, juga telah menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai potensi risiko keamanan lingkungan. “Akan lebih baik jika airnya tidak dibuang, tetapi tampaknya tak dapat dihindari,” ungkap Katsumasa Okawa, pemilik toko makanan laut di Iwaki, yang bisnisnya masih dalam tahap pemulihan pasca bencana.
Pemerintah Jepang telah mengalokasikan dana sebesar 80 miliar yen untuk mendukung industri perikanan Fukushima dan mengatasi dampak negatif dari pembuangan air limbah ini. Pemerintah menegaskan bahwa dampak terhadap manusia, lingkungan, dan kehidupan laut akan diminimalisir dan terus dipantau secara ketat sebelum, selama, dan setelah proses pembuangan, yang diperkirakan akan berlangsung selama proses penonaktifan PLTN yang memakan waktu 30-40 tahun. Meskipun para ilmuwan menyatakan bahwa dampak kesehatan dari mengonsumsi Tritium dan radioisotop lain melalui rantai makanan mungkin lebih buruk daripada meminumnya langsung dari air, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan hal tersebut.
Tantangan dekontaminasi PLTN Fukushima Daiichi sendiri masih sangat panjang. Sejumlah besar bahan bakar nuklir yang meleleh dan terkontaminasi masih berada di dalam reaktor. Proses pembersihan dan pengangkatan puing-puing ini sangat kompleks dan berisiko, dengan teknologi robot yang digunakan untuk melakukan investigasi dan pembersihan. Pembersihan kolam pendingin reaktor Unit 1 saja baru akan dimulai pada tahun 2027, setelah penundaan selama 10 tahun. Pengangkatan puing-puing bahan bakar yang meleleh ditargetkan baru akan dimulai pada tahun 2031. Akira Ono dari TEPCO menyebut pekerjaan ini sebagai pekerjaan yang “sangat sulit”, dan beberapa ahli bahkan memperkirakan proses dekontaminasi penuh baru dapat selesai pada tahun 2051 atau bahkan lebih lama lagi. Jadwal yang terlalu ambisius berpotensi menimbulkan risiko paparan radiasi yang tidak perlu bagi pekerja dan kerusakan lingkungan yang lebih besar.
Meskipun bencana nuklir ini berdampak besar, perlu diingat bahwa Prefektur Fukushima sendiri sangat luas, dan sebagian besar wilayahnya tidak terpengaruh oleh radiasi. Setelah upaya dekontaminasi yang ekstensif, hanya 2,4% wilayah yang masih dinyatakan terlarang. Upaya pemulihan pariwisata juga sedang gencar dilakukan untuk menghidupkan kembali ekonomi lokal, terutama sektor pariwisata musim dingin seperti resor ski yang terdampak stigma negatif pasca bencana. Setelah tiga tahun pandemi, sektor pariwisata di Fukushima mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Kejadian di Fukushima menjadi pelajaran berharga bagi dunia tentang pentingnya keselamatan nuklir dan pengelolaan limbah radioaktif. Proses penonaktifan PLTN dan pemulihan wilayah Fukushima masih akan menjadi perjalanan panjang yang penuh tantangan, membutuhkan kerja sama internasional dan komitmen jangka panjang dari semua pihak yang terlibat.